PETUALANGAN CHENG HO
Petualangan Cheng Ho antarbenua selama 7 kali
berturut-turut dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433). Tak kurang dari 30
negara di Asia, Samudera Barat, dan Afrika pernah disinggahinya.
Pelayarannya lebih awal 87 tahun dibanding Columbus (1492).
Juga lebih
dahulu 92 tahun dibanding pelaut lainnya seperti Vasco da Gama yang berlayar
dari Portugis ke India tahun (1497), Ferdinand Magellan yang merintis
pelayaran mengelilingi bumi (1519) pun kalah duluan 114 tahun.
Ekspedisi Cheng Ho ke Samudera Barat mengerahkan armada raksasa. Pertama
mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800
ribu awak. Pada pelayaran ketiga mengerahkan kapal besar 48 buah, awaknya
27.000 orang. Sedangkan pelayaran ketujuh terdiri atas 61 kapal besar dan
berawak 27.550 orang. Bila dijumlah dengan kapal kecil, rata-rata
pelayarannya mengerahkan 200-an kapal. Sementara Columbus, ketika “kesasar”
menemukan benua Amerika hanya mengerahkan 3 kapal dan awak 88 orang.
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut ‘kapal pusaka’ merupakan kapal
terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar
18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut
sejarahwan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton. Model kapal itu
menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di
masa kini. Rancang-bangunnya bagus, tahan terhadap serangan badai, serta
dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas
magnetik.
Pelayaran pertama mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya,
Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua.
Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau
India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini
mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang
kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi
terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.
Pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku Zheng He’s Navigation Map yang
mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini
terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan
berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu
pada ‘Jalur Sutera’ antara Pakhia (Beijing)-Bukhara.
Dalam mengarungi samudera, Cheng Ho mampu mengorganisir armada dengan rapi.
Kapal-kapalnya terdiri atas kapal pusaka (induk), kapal kuda (mengangkut
barang-barang dan kuda), kapal penempur, kapal bahan makanan, dan kapal
duduk (kapal komando), plus kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang
bertugas di bagian komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.
Berbeda dengan pelaut Eropa yang berbekal semangat imperialis, armada
raksasa ini tak pernah serakah menduduki tempat-tempat yang disinggahi.
Dalam majalah Star Weekly Allahu Yarham HAMKA pernah menulis, “Senjata alat
pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah ’senjata budi’
yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi.” Namun itu bukan
berarti armada tempurnya tak pernah bertugas sama sekali. Laksamana Cheng Ho
pernah memerintahkan tindakan militer untuk menyingkirkan kekuatan yang
menghalangi kegiatan perniagaan. Jadi bukan invasi atau ekspansi. Misalnya
menumpas gerombolan bajak laut Chen Zhuji di perairan Palembang, Sumatera
(1407).
Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho sampai 7 kali singgah di kepulauan
Nusantara. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng
raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat ini tersimpan
di Museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah
Palembang dan Bangka. Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini
Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa
cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah
piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton
Kasepuhan Cirebon.
Sebagai orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah
memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi,
juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma,
nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata ‘haji’. Setiap
kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum
melaut, mereka melaksanakan shalat berjama’ah. Beberapa tokoh Muslim yang
pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hasan, Sha’ban, dan Pu
Heri. “Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas
orang Islam,” tulis Allahu Yarham HAMKA.
Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih
berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan
yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan
mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hasan
juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan
ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau
memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai. Petualang sejati itu
menunaikan ibadah haji saat ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu
rombongannya singgah di Jeddah. WaLlahu a’lamu bisshawab.
0 komentar:
Posting Komentar